Senin, 02 Maret 2009

Suatu Kata Tentang Makna Hidup

Benarkah Hidup bermakna ?

Saya hanya mencoba mengutarakan kembali apa yang telah saya baca pada buku Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, Penerbit Hikmah cetakan ke-IV, Januari 2006 halaman 73.
Setiap manusia mempunyai pandangan yang berbeda mengenai hidup yang bermakna,dalam pandangan hedonisme hidup dikatakan bermakna selama memberikan kenyamanan dan kenikmatan. Oleh karena itu banyak sekali aktivitas manusia yang terarahkan untuk mengejar kenikmatan. Mungkin saja sejak kita memasuki bangku kuliah, melamar pekerjaan, memburu gaji, membeli rumah dan seterusnya kesemuanya tidak luput dari bayangan untuk meraih kenikmatan hidup.
Pandangan kaum hedonis jelas tidak sejalan dengan ajaran agama. Bahwa kebutuhan fisik harus dipenuhi dengan proporsional dan kenikmatan fisik merupakan salah satu anugerah Allah, adalah hal yang jelas dan wajib disyukuri. Rasanya sungguh merugi dan dangkal kalau makna dan harga kehidupan hanya diukur dengan standar hedonisme.

Berdekatan dengan pandangan Hedonisme adalah paham nihilisme yang menyatakan bahwa manusia tak ubahnya seperti hewan ataupun benda lain yang kesemuanya akan berakhir ketika meninggal dunia. Jadi, berbagai pikiran, imajinasi, harapan, dan keyakinan tentang nilai-nilai luhur maupun kehidupan akhirat kesemuanya itu hanya ilusi belaka. Hidup menjadi bermakna selama kita beri makna, namun hanya berlaku sebatas kehidupan dunia ini.

Jadi bagaimana sebenarnya makna dan harga sebuah kehidupan?

Dalam buku itu dikatakan pada bagian akhir tulisan di halaman 76 sebagai berikut :

Bagi saya, makna dan harga sebuah kehidupan adalah berjenjang. Factor usia, tingkat pendidikan, dan status ekonomi serta nasib akan memengaruhi dalam memahami dan menghayati makna hidup. Bagi saya sekarang ini, hidup terasa indah dan mengasyikkan ketika dihayati sebagai perjalanan kembali. Hidup adalah rekreasi. Kita bertemu dengan jiwa-jiwa yang datang dari rumah yang sama, dan akan kembali ke rumah yang sama. Ketika bertemu dengan jiwa-jiwa yang sadar bahwa kita adalah teman seperjalanan, sepermainan dan sekeluarga, maka perjalanan menjadi indah dan mengasyikkan. Maka, kata yang paling tepat dan mewakili pikiran saya adalah kata “ Islam” itu sendiri. Yaitu pasrah, sujud dan takluk serta rindu pada Tuhan. Kalau bukan pada Tuhan dan kembali ke rumah-Nya, mau dibawa ke mana langkah kaki, jiwa, dan pikiran ini?

Semoga dengan salinan tulisan dari buku beliau dapat memberikan kita kawan IKADA LIDO sekalian, arah yang benar dalam memaknai hidup ini, bahwa hidup yang kita jalani ini seyogyanya disadari sebagai sebuah perjalanan kembali menuju Allah. Menuju rumahnya dan tidak dimaknai sebagai sebuah proses untuk mengejar kenikmatan semata. Wallahu ‘alam bishawab.

Ndunk-14



Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

IKADA LIDO's BLOG ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO